Peradilan Politik: Ketika Hukum Tunduk pada Kuasa
Peradilan politik merujuk pada situasi di mana sistem hukum dan proses peradilan dimanipulasi atau digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik tertentu, alih-alih untuk menegakkan keadilan berdasarkan fakta dan hukum yang berlaku. Ini adalah fenomena yang menggerogoti integritas hukum dan prinsip supremasi hukum dalam sebuah negara.
Wujudnya bisa beragam, mulai dari kriminalisasi lawan politik, penggunaan pasal-pasal karet untuk menjerat individu atau kelompok yang berseberangan dengan kekuasaan, hingga penegakan hukum yang selektif. Motifnya jelas: membungkam perbedaan pendapat, menyingkirkan pesaing, atau mempertahankan status quo kekuasaan. Dalam kasus peradilan politik, putusan pengadilan sering kali tidak didasarkan pada bukti yang kuat, melainkan pada tekanan atau arahan dari pihak yang memiliki kekuatan politik.
Dampak peradilan politik sangat destruktif. Pertama, ia merusak kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan, yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan. Ketika masyarakat melihat hukum dipermainkan, legitimasi negara pun terkikis. Kedua, ia melemahkan prinsip supremasi hukum, di mana semua warga negara seharusnya setara di mata hukum, tanpa memandang status atau afiliasi politik. Ketiga, dan yang paling krusial, peradilan politik mengancam demokrasi itu sendiri, karena menghalangi kebebasan berekspresi, partisipasi politik yang sehat, dan akuntabilitas kekuasaan.
Singkatnya, peradilan politik adalah racun bagi keadilan dan demokrasi. Untuk mencegahnya, independensi yudikatif harus dijaga dengan teguh, dan setiap upaya intervensi politik terhadap proses hukum harus ditolak secara tegas. Hukum harus berdiri tegak, netral, dan hanya tunduk pada kebenaran, bukan pada kepentingan atau kehendak siapa pun yang sedang berkuasa.
