Jejak Lingkungan Fast Fashion: Krisis di Balik Lemari Pakaian
Fast fashion, sebuah model bisnis yang mengedepankan produksi massal pakaian trendi dengan harga murah dan siklus pergantian yang sangat cepat, telah menjadi kekuatan dominan di industri mode. Namun, di balik daya tarik harga dan gaya, tersembunyi dampak lingkungan yang masif dan seringkali terabaikan.
1. Konsumsi Sumber Daya dan Polusi Produksi:
Proses produksi fast fashion sangat intensif sumber daya. Penanaman kapas membutuhkan volume air yang sangat besar dan penggunaan pestisida. Proses pewarnaan dan finishing kain melibatkan bahan kimia beracun yang mencemari sumber air dan tanah. Lebih jauh, produksi serat sintetis seperti poliester dan nilon berkontribusi pada emisi gas rumah kaca dan melepaskan jutaan mikroplastik ke lautan setiap kali dicuci.
2. Penumpukan Limbah Tekstil:
Siklus hidup pakaian fast fashion yang sengaja dibuat pendek mendorong budaya ‘pakaian sekali pakai’. Konsumen didorong untuk terus membeli yang baru, menyebabkan penumpukan limbah tekstil yang masif. Jutaan ton pakaian berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) setiap tahun, membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai, atau jika dibakar, melepaskan gas rumah kaca dan zat beracun ke atmosfer.
3. Jejak Karbon Tinggi:
Dari penanaman bahan baku, proses produksi, transportasi global, hingga pembuangan akhir, setiap tahapan dalam rantai pasok fast fashion menghasilkan jejak karbon yang signifikan. Industri mode, secara keseluruhan, merupakan salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia.
Jelas bahwa fast fashion bukan hanya tentang tren, melainkan juga krisis lingkungan yang mendesak. Dari hulu ke hilir, jejak ekologisnya sangat merusak. Sebagai konsumen, kita memiliki kekuatan untuk membuat perubahan. Memilih pakaian yang berkualitas, mendukung merek berkelanjutan, membeli barang bekas, memperbaiki, atau mendaur ulang adalah langkah-langkah kecil yang dapat mengurangi beban pada planet kita.