Bentrokan agraria serta peperangan publik adat dalam menjaga tanah

Bentrokan Agraria dan Perlawanan Abadi Masyarakat Adat: Melindungi Tanah, Menjaga Kehidupan

Bentrokan agraria adalah fenomena laten di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Konflik ini, yang berakar pada sengketa kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam, seringkali menempatkan masyarakat adat sebagai pihak yang paling rentan. Mereka seringkali menjadi korban ekspansi pembangunan yang mengabaikan hak-hak tradisional mereka, memaksa mereka untuk melancarkan apa yang bisa disebut sebagai ‘peperangan publik’ demi mempertahankan tanah leluhur.

Akar Konflik dan Ancaman terhadap Tanah Adat

Akar konflik agraria terletak pada tumpang tindihnya klaim lahan, kebijakan negara yang bias investasi, dan pengabaian hak ulayat yang telah dipegang turun-temurun. Ekspansi perkebunan skala besar (terutama sawit), pertambangan, kehutanan, dan proyek infrastruktur seringkali menjadi pemicu utama. Perusahaan-perusahaan ini, didukung oleh regulasi yang lemah atau tidak diterapkan, kerap merampas tanah adat tanpa persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (FPIC), mengancam tidak hanya mata pencarian tetapi juga identitas budaya dan spiritual masyarakat adat.

"Peperangan Publik Adat": Perlawanan Multidimensional

Bagi masyarakat adat, mempertahankan tanah bukan sekadar masalah ekonomi, melainkan juga identitas, budaya, dan spiritualitas yang tak terpisahkan. Tanah adalah ibu, warisan leluhur, dan sumber kehidupan. Maka, ‘peperangan publik adat’ adalah manifestasi dari perlawanan yang gigih dan multidimensional. Ini bukan selalu tentang pertempuran fisik bersenjata, melainkan serangkaian upaya kolektif dan strategis:

  1. Advokasi Hukum dan Politik: Mengajukan gugatan ke pengadilan, mendesak pengakuan hak ulayat melalui jalur legislasi, dan membangun jaringan solidaritas nasional maupun internasional.
  2. Aksi Langsung dan Demonstrasi: Melakukan blokade jalan, menduduki kembali wilayah adat, atau menggelar ritual adat sebagai bentuk penolakan simbolis dan spiritual terhadap invasi.
  3. Penguatan Adat dan Budaya: Menghidupkan kembali hukum adat, tradisi, dan ritual yang menegaskan kepemilikan atas tanah, serta mendokumentasikan sejarah dan peta wilayah adat mereka.
  4. Perlawanan Non-Kekerasan: Meskipun terkadang berujung pada bentrokan, mayoritas perjuangan masyarakat adat adalah non-kekerasan, menuntut keadilan melalui narasi, aksi damai, dan kampanye publik.

Masyarakat adat bukanlah pihak agresor; mereka adalah pembela terakhir atas hak dan warisan yang terancam punah. Perjuangan mereka adalah upaya defensif untuk menjaga kedaulatan atas wilayah adat mereka dari ancaman kapitalisme dan pembangunan yang tidak berpihak.

Harga Sebuah Perlawanan

Namun, perjuangan ini tidak datang tanpa harga. Masyarakat adat seringkali menghadapi kriminalisasi, intimidasi, kekerasan, bahkan penggusuran paksa. Banyak pemimpin adat dipenjara dengan tuduhan palsu, dan komunitas mereka tercerabut dari akar budaya serta kehilangan akses terhadap sumber daya alam yang menopang hidup mereka. Kehilangan tanah adat berarti juga hilangnya penjaga kearifan lokal dalam menjaga ekosistem.

Mendesak Pengakuan dan Keadilan

Perlawanan masyarakat adat adalah panggilan keras bagi keadilan. Pengakuan dan perlindungan hak-hak tanah adat adalah kunci untuk meredakan konflik agraria dan membangun pembangunan yang berkelanjutan serta berkeadilan. Mendukung perjuangan mereka berarti mendukung keberlanjutan lingkungan, keanekaragaman budaya, dan hak asasi manusia universal. Tanpa tanah, mereka kehilangan segalanya; tanpa mereka, kita kehilangan penjaga terakhir bumi dan warisan budaya yang tak ternilai.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *